Makalah "IPTEK DALAM ISLAM" 2




II.3 ULUL ALBAB (PROTOTIPE INTELEKTUAL MUSLIM, TUGAS, DAN TANGGUNG JAWAB)
Ulul-albab disebut enambelas kali dalam Al-Quran. Menurut Al-Quran, ulul-albab adalah kelompok manusia tertentu yang diberi keistimewaan oleh Allah swt. Diantara keistimewaannya ialah mereka diberi hikmah, kebijaksaan, dan pengetahuan. disamping pengetahuan yang diperoleh mereka secara empiris: “Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barang siapa yang diberi hikmah, sungguh telah diberi kebajikan yang banyak. Dan tak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali ulul-albab.” (QS. Al-Baqarah 269).Disebutkan pula dalam Al-Quran bahwa: “Mereka adalah orang yang bisa mengambil pelajaran dari sejarah umat manusia.” (QS. Yusuf 111).Dipelajarinya sejarah berbagai bangsa, kemudian disimpulkannya satu pelajaran yang bermanfaat, yang dapat dijadikan petunjuk dalam mengambil keputusan di dalam kehidupan ini. “Mereka itulah orang-orang yang mendapatkan petunjuk dari Allah, dan mereka itulah ulul-albab..” (QS. Al- Imran :7).Didalam Al-Quran disebutkan 5 tanda-tanda ulul albab yang juga berkaitan dengan tugas-tugasnya yakni :
Tanda pertama: Bersungguh-sungguh mencari ilmu, seperti disebutkan dalam Surah Al-Imran ayat 7 “Dan orang yang bersungguh-sungguh dalam ilmu pengetahuan mengembangkannya dengan seluruh tenaganya, sambil berkata: ‘Kami percaya, ini semuanya berasal dari hadirat Tuhan kami,’ dan tidak mendapat peringatan seperti itu kecuali ulul-albab.”Abdus Salam, seorang Muslim pemenang hadiah Nobel, berkat teori unifikasi gaya yang disusunnya, berkata, “Al-Quran mengajarkan kepada kita dua hal: tafakur dan tasyakur. Tafakur adalah merenungkan ciptaan Allah di langit dan di bumi, kemudian menangkap hukum-hukum yang terdapat di alam semesta. Tafakur inilah yang sekarang disebut sebagai science. Tasyakur ialah memanfaatkan nikmat dan karunia Allah dengan menggunakan akal pikiran, sehingga kenikmatan itu makin bertambah; dalam istilah modern, tasyakur disebut teknologi. Ulul-albab merenungkan ciptaan Allah di langit dan bumi, dan berusaha mengembangkan ilmunya sedemikian  rupa, sehingga karunia Allah ini dilipatgandakan nikmatnya.”
Tanda kedua: Mampu memisahkan yang jelek dari yang baik, kemudian ia pilih yang baik, walaupun ia harus sendirian mempertahankan kebaikan itu dan walaupun kejelekan itu dipertahankan oleh sekian banyak orang. Allah berfirman dalam surah Al-Maidah ayat 100 : “Katakanlah, tidak sama kejelekan dan kebaikan, walaupun banyaknya kejelekan itu mencengangkan engkau. Maka takutlah kepada Allah, hai ulul-albab.”
Tanda ketiga: Kritis dalam mendengarkan pembicaraan, pandai menimbang-nimbang ucapan, teori, proposisi atau dalil yang dikemukakan oleh orang lain : “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk dan mereka itulah ulul-albab.” (QS.39:18)
Tanda keempat: Bersedia menyampaikan ilmunya kepada orang lain untuk memperbaiki masyarakatnya; diperingatkannya mereka kalau terjadi ketimpangan, dan diprotesnya kalau terdapat ketidakadilan. Dia tidak duduk berpangku tangan di labolatorium; dia tidak senang hanya terbenam dalam buku-buku di perpustakaan; dia tampil di hadapan masyarakat, terpanggil hatinya untuk memperbaiki ketidakberesan di tengah-tengah masyarakat…: “Ini adalah penjelasan yang cukup bagi manusia, dan supaya mereka diberi peringatan dengan dia, dan supaya mereka mengetahui bahwasannya Dia adalah Tuhan Yang Maha esa dan agar ulul-albab mengambil pelajaran.” (QS.Ibrahim:52)
Tanda kelima: Tidak takut kepada siapa pun kecuali kepada Allah. Berkali-kali Al-Quran menyebutkan bahwa ulul-albab hanya takut kepada Allah: “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baiknya bekal adalah takwa dan
bertakwalah kepada-Ku hai ulul-albab.” (QS
Al-Baqarah :197)
Di dalam bahasa Inggris, kata intelektual dikenakan kepada sejenis pribadi tersendiri yang telah mengalami kecerdasan dan kehalusan budi lewat pendidikan budaya. Orang bisa tinggi tingkat Kesarjanaan dan sangat ahli di dalam lapangan pekerjaannya, tetapi selama ia tidak punya minat ataupun peka kepada rangsang-rangsang budaya, ia belumlah berhak dinamakan intelektual. Bila kita mengambil pengertian intelektual seperti dalam bahasa Inggris, maka seorang ilmuwan Muslim yang tidak menaruh perhatian kepada perkembangan umat Islam, tidaklah layak disebut sebagai intelektual Muslim. Mereka yang hanya sibuk dengan tugasnya di kampus sebagai pengajar, peneliti, dan petugas administratif; mereka yang tidak terpanggil untuk menyebarkan dan menanamkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan kampus; mereka yang tidak peka terhadap gairah masyarakat kampus untuk menyerap nilai-nilai Islam; mereka yang memandang Islam sebagai konvensi sosial, dan bukan sebagai element vital dalam perubahan sosial, tidaklah dapat disebut sebagai intelektual. Pada diri intelektual, ada semangat menemukan, menyusun, menguji, melakukan sintesis (semangat ilmiah). Pada dirinya, juga ada semangat mengkritik, mencari jalan keluar, memberikan pedoman, memperjuangkan nilai-nilai yang berorientasi ke depan (semangat seorang moralis). Contohnya,Sakharov menjadi ideolog ketika memprotes penindasan atas hak-hak asasi di negerinya. Al-Ghazali tidak lagi menjadi sufi ketika ia mengirimkan surat-surat protes kepada penguasa di negerinya. Ibnu Taimiyah bukan semata-mata anggota fikih ketika ia memimpin perlawanan terhadap tentara Mongol dan lain-lain, menjadi intelektual ketika mereka mengubah umat yang pasif, meniupkan ruh jihad, dan menanamkan kepercayaan diri di samping mengajarkan syariat Islam.lmu bukan lagi urusan pribadi, tetapi juga urusan sosial. Karena itu, hanya ilmuwan "robot" yang hati nuraninya tidak terusik untuk membaktikan ilmunya bagi peningkatan kualitas hidup masyarakatnya. Hanya ilmuwan ”robot”  yang terbenam di laboratorium, dan melepaskan masyarakat di sekitarnya. Lebih-lebih, hanya ilmuwan "Frankenstein" yang memanfaatkan sumbangan masyarakat buat memperluas ilmu yang menindas masyarakat. "
Dengan argumentasi yang sama, kita dapat mengatakan bahwa bukanlah ilmuwan Muslim, bila ia tidak berusaha menghidupkan nilai-nilai Islam di lingkungannya, padahal ia dibesarkan oleh umat Islam.

Tanggungjawab Intelektual Muslim
Pembahasan tentang tanggung jawab merujuk kerangka etika tertentu.Al-Quran menggunakan istilah Ulul-Albab untuk intelektual Muslim. Kata Ulul-Albab disebut sebanyak enam belas kali dalam Al-Quran.Ditelisik dari sifat-sifat seorang ulul albab dalam Surah ar-Ra'd, ayat 20-24 :
"Orang-orang yang menepati janji Allah, dan mereka tidak memungkiri janji. Dan orang-orang yang memperhubungkan apa yang diperintahkan oleh Allah untuk menghubungkannya, dan mereka takut kepara Tuhan mereka, dan takut akan perhitungan yang keras. Orang-orang yang sabar, karena mengharapkan ker
idhaan Tuhan mereka, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang kami berikan kepada mereka, dengan sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, dan mereka menolak kejahatan dengan kebaikan, bagi mereka adalah akibat (yang baik) di akhirat, (yaitu) surga 'Adn, mereka masuk ke dalamnya bersama orang-orang saleh di antara bapak-bapak mereka, istri-istri mereka dan anak-anak mereka, sedang malaikat masuk kepada mereka dari tiap-tiap pintu. (Kemudian mengucapkan): Salam atas kamu, karena kamu telah sabar, maka sebaik-baiknyalah akibat di surga. "
Dua sifat pertama menunjukkan kewajiban, tiga sifat berikutnya menunjukkan akhlak, dan sifat-sifat terakhir memperinci metode Ulul-Albab dalam melaksanakan kewajibannya. Butir-butir ini juga yang kami anggap mendasari pembicaraan tentang tanggung jawab intelektual Muslim dalam menerapkan nilai-nilai Islam.

Klasifikasi Ilmu (oleh al-Ghazali)

·         Ilmu fard kifayah, sifatnya dinamis, selain berbeda untuk setiap orang menurut kemampuannya, juga bisa berkembang sesuai keperluan. Ilmu juga ada yang tercela, seperti sihir, mantera, Hipnotis, dll atau ilmu yang dipelajari untuk tujuan yang salah
·         Ilmu Fardu ‘ayn merupakan kewajiban pada setiap orang Islam. Setiap aqil baligh tidak boleh tidak tahu mengenainya. Dalam pandangan al-Khawarizmi, ilmu fardu ‘ayn wajib ke atas semua manusia, baik kalangan masyarakat awam atau golongan terpilih ( khawass ), pemerintah atau menteri, yang merdeka atau hamba, yang tua dan yang muda, dan seterusnya. Ilmu fardu ‘ayn memiliki tiga dimensi. Dimensi pertama ilmu fardu 'ayn adalah i‘tiqad , yaitu, membenarkan segala apa yang sahih disampaikan Allah kepada Rasulullah dengan i‘tiqad yang tetap dan pasti, yang bebas dari sebarang shakk (keraguan). Dimensi kedua ilmu fardu 'ayn adalah berkenaan dengan perbuatan yang wajib dilaksanakan. Aspek ketiga ilmu fardu 'ayn adalah berkenaan dengan masalah yang wajib ditinggalkan. Kewajiban ilmu ini berkembang menurut keadaan seseorang yang berbeda-beda antara satu sama lain.
·         Ilmu Fardu Kifayah Menurut , merupakan ilmu yang tidak dapat dikesampingkan dalam menegakkan urusan duniawi masyarakat Islam. Dalam kewajiban fardu kifayah , kesatuan masyarakat Islam secara bersama memikul tanggungjawab kefarduan untuk menuntutnya. Dalam kewajiban ilmu fardu kifayah , kesatuan para mukallaf masyarakat Islam secara bersama memikul tanggungjawab kefarduan untuk menuntutnya. Yaitu, jika sejumlah mukallafin ada yang menegakkan kewajiban menuntut ilmu fardu kifayah tersebut, maka kefarduan itu telah terpenuhi dan gugurlah dosa bagi yang tidak mengerjakannya. Sebaliknya, jika tiada seorang pun yang menegakkan kewajiban menuntut ilmu fardu kifayah tersebut, atau mengambil keputusan untuk bersepakat untuk meninggalkan ilmu fardu kifayah itu, maka semua mukallaf masyarakat tersebut berdosa karena mengabaikan kewajiban itu.


II.4. Tugas cendekiawan muslim (Berdasarkan buku karangan ali Syari’ati)
Tugas Cendekiawan Muslim karangan Ali Shari’ati . Menurutnya, ada empat tipikal manusia, terutama dan dikhususkan pada manusia Islam, yang membuatnya berbeda dengan manusia-manusia lainnya.
Tipikal pertama adalah ilmuwan. Seorang manusia mesti mencari tahu soal kehidupan dan alam semesta dalam serangkaian penelitian ilmiah. Ilmu pengetahuan menjadi prasyarat pertama sebelum seorang manusia dikatakan sebagai manusia. Ia berbicara tidak hanya berlandaskan asumsi-asumsi, praduga-praduga subjektif, dan emosional belaka, tapi berdasarkan bukti-bukti kongkret melalui serangkaian metode keilmuan. Ia belajar mulai dari dasar, dari ketidaktahuannya akan sesuatu dan kemudian menjadi tahu akan sesuatu.
Beranjak dari tipikal pertama, ia memasuki tahap kedua, yaitu intelektual. Di sini, persinggungannya dengan masyarakat sudah dimulai. Ia mulai memberikan pengetahuannya kepada masyarakat dan terutama sekali kepada pihak penguasa. Seorang intelektual bertugas membimbing masyarakatnya untuk mencari tahu dan mengarahkan kepada tujuan yang ingin digapai, sebuah tujuan yang bukan didasarkan atas konsensus bersama atau orang banyak (kuantitatif) tapi berdasarkan tujuan-tujuan murni dari kemanusiaan. Ia memperingatkan penguasa bila jalan yang diambil penguasa mematikan kadar positif manusia, menghempang kreativitas manusia, ataupun menindas kebenaran dan keadilan.
Kaum intelektual bukanlah bagian dari penguasa tapi merupakan bagian dari masyarakat yang tidak hanya melakukan kritik dan kontrol sosial, tapi juga melakukan dan menawarkan ide-ide baru yang bisa membuat masyarakat berubah dari kondisi kejumudan, taqlid, menjadi suatu generasi kreatif yang bergerak maju ke depan. Kaum intelektual tidak pernah takut akan pengorbanan, dan malahan pengorbanan dan resiko merupakan salah satu jalan yang harus dilalui.
Dari intelektual, ia memasuki tahap ketiga yaitu ideolog. Ideolog bukanlah orang yang menguasi mimpi-mimpi kosong berdasarkan interest politik sesaat. Tapi ia merupakan orang yang mendasarkan gerakannya pada ilmu pengetahuan dan kebenaran sejati. Ia memobilisasi massa dan mengorganisirnya dalam suatu kelompok untuk melakukan perubahan. Kebanyakan ideolog tidak tertarik pada konsep evolutif atau kompromis dengan kekuasaan tapi berusaha menerjang kekuasaan dan menjungkirkannya. Ia memberikan pencerahan dan kekuatan kepada masyarakat dan bersatu serta memimpin mereka untuk melakukan perubahan.
Tahap terakhir dari manusia adalah menjadi seorang ulama. Mukhtar mengatakan, ulama yang dimaksud bukanlah dalam kategori “ustadz”. Saya harus memberi tanda petik pada kata “ustadz”, karena menurut Mukhtar, di Indonesia tidak ada ulama, tapi hanya “guru-guru ngaji”. Para “guru-guru ngaji” ini lebih memandang penting persoalan berapa kali Anda menuangkan air ke wajah Anda ketika berwudhu tapi sama sekali tidak mengetahui kalau ketidakadilan sedang terjadi pada orang yang berwudhu itu. Ia sama sekali menutup mata pada kemiskinan yang selalu menjadi pengunjung tetap mesjid dan mushola. Ia tegoda dengan golongan berdasi yang melakukan korupsi tapi menyumbang besar pada pembangunan mesjid.




 

Categories

About Me

Foto Saya
Arvinni..
Makassar
Nama lengkap Arvinni Dwi Oktavia,kelahiran Bulukumba 16 Oktober 1993..Duduk dibangku kuliah Prodi Sosial Ekonomi,Jurusan Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin angkatan 2011. Seorang calon Sarjana Perikanan dan pengusaha sukses dalam bidang perikanan.AMIN! :)
Lihat profil lengkapku

Our Partners

© 2010 Mari Belajar... All Rights Reserved Thesis WordPress Theme Converted into Blogger Template by Hack Tutors.info